REUMATOID ARTRITIS
Reumatoid artritis merupakan penyakit multisistem kronik yang
ditandai oleh beragam manifestasi klinis, dengan awitan penyakit umumnya pada
usia antara 35 dan 50 tahun. Gambaran utama adalah sinovitis inflamatorik yang
biasanya mengenai perifer. Penyakit ini memeliki kecendrungan merusak tulang
rawan, menyebabkan erosis tulang, dan menimbulkan kerusakan sendi. Tangan,
penggelangan tangan dan kaki sering tekena. Timbul nyeri yang diperburuk oleh
gerakan, disertai pembengkakan dan nyeri tekain. Selain gejala sinovitis,
sebagian besar pasien memperlihatkan rasa lelah, anoreksia, lemah otot,
penurunan berat badan dan gejala tulang otot yang sama. Kelainan diluar sendi
adalah nodus rematoid, vaskulitis dan gejala pleuropulmoner. Untung nya
biasanya ginjal tidak tekena.
Artritis rematoid ( Rheumatoid arthritis, RA) adalah
penyakit autoimun dengan gejala utama nyeri dan peredangan sendi. Etiologi
penyakit ini belum sepenuhnya diketahui. Dimana nyeri sendi pada RA secara
bermakna dapat menurunkan kualitas hidup, serta dapat mengganggu aktivitas perkerjaan
dan sosial. Pada pasien RA juga didapatkan peningkatan angka mortalitas yang
bermakna. Prevalensi RA bervariasi antar nengara dimerika serikat diperkirakan
sekitar 0,5%, diinggris sekitar 0,67% dan dijepang sekitar 0,6%. Survei
prevalensi di indonesia mendapatkan angka sekitar 30%.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis RA belum sepenuhnya dipahami. Rangsangan eksternal
(misalnya merokok, infeksi, atau trauma) dapat memicu reaksi autoimun, yang
mengarah ke hipertrofi sinovial dan peradangan sendi kronik (intraartikular).
Selain itu, rangsangan ini juga berpotensi untuk bermanifestasi ekstraartikular,
diduga terutama pada individu. yang memiliki
faktor genetik. Faktor genetik dan kelainan sistem kekebalan berkontribusi terhadap
penyebaran penyakit.
Hiperplasia sinovial dan aktivasi endotel adalah proses patologis
awal yang berkembang menjadi peradangan kronik dan mengakibatkan kerusakan
tulang dan
tulang rawan. Sel-sel yang terlibat pada peradangan seluler pada
patofisiologi RA antara lain: sel limfosit T CD4, sel fagosit mononuklear, sel
fibroblas, sel osteoklas, dan sel neutrofil. Sedangkan sel yang terlibat pada
peradangan humoral adalah sel limfosit B yang menghasilkan autoantibodi (faktor
reumatoid).
Pada RA, diketahui terjadi
peningkatan berbagai sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi sebagai berikut: Tumor
Necrosis Factor Alpha (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6),
Interleukin-8(IL-8), Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß), Fibroblast Growth
Factor (FGF), Platelet Derived Growth Factor (PDGF). Pada akhirnya, proses
peradangan dan proliferasi sinovium (pannus) yang berlebihan menyebabkan
kerusakan berbagai jaringan, termasuk tulang rawan, tulang, tendon, ligamen,
dan pembuluh darah. Meskipun struktur artikular adalah organ utama yang terlibat,
jaringan lain juga terpengaruh.
GEJALA DAN TANDA
Gejala utama RA adalah nyeri dan peradangan sendi poliartikular,
biasanya mengenai jari-jari tangan dan kaki. Gejala nyeri dan peradangan sendi
bisa hilang timbul, umumnya bersifat kronik dan progresif. Progresivitas gejala
sendi tidak hanya pada nyeri, melainkan juga kerusakan, deformitas, dan fungsi
sendi yang makin buruk. Selain gejala sendi, juga dapat timbul gejala
ekstraartikuler antara lain mengenai kulit, jantung, paru, dan mata. Selain
kerusakan artikular, mungkin disertai gejala konstitusional (misalnya
kelelahan, malaise, kekakuan di pagi hari, penurunan berat badan, dan demam
ringan). Pasien RA dapat melaporkan kesulitan melakukan aktivitas hidup
sehari-hari, seperti berpakaian, berdiri, berjalan, kebersihan pribadi, atau penggunaan
tangan.
Pada pemeriksaan fisik, pada sendi-sendi yang terkena akan muncul
tanda-tanda berikut: bengkak, nyeri tekan, hangat, dan penurunan range of
motion. Sendi-sendi yang sering
terkena antara lain: metacarpophalangeal (MCP), pergelangan, proximal
interphalangeal (PIP), lutut, metatarsophalangeal (MTP), sendi, pergelangan kaki,
vertebra servikal, panggul, siku, dan temporomandibular.
PILIHAN PENGOBATAN
Untuk mencapai sasaran pengobatan, ada beberapa pilihan pengobatan,
antara lain: DMARD, Agen Biologik, Janus Kinase Inhibitor, Corticosteroid, dan
NSAID.
1. DMARD
DMARD (Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs) Disease Modifying
Anti Rheumatic Drugs (DMARD) adalah kelompok obat yang memiliki potensi
mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Yang
termasuk dalam obat-obat DMARD adalah methotrexate, leflunomide, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, cyclosporine, azathioprine. Obat-obat DMARD memiliki mula
kerja panjang dan baru akan memberikan. efek setelah 1-6 bulan pengobatan,
serta biasanya memiliki potensi efek samping relatif berat, oleh karena itu
membutuhkan evaluasi dan pemantauan.
DMARD dapat digunakan secara
tunggal atau dalam kombinasi. Untuk pengobatan awal, apabila digunakan secara
tunggal, yang memiliki efikasi lebih baik adalah methotrexate atau leflunomide
(efikasi methotrexate sebanding dengan leflunomide). Apabila pengobatan awal
methotrexate tidak memberikan respons perbaikan yang diharapkan setelah titrasi
dosis, DMARD kombinasi dapat memberikan efikasi lebih baik dibandingkan DMARD
tunggal. Kombinasi methotrexate + leflunomide dapat bermanfaat bagi pasien RA
yang sebelumnya kurang berespons terhadap pengobatan DMARD tunggal. Penelitian
lain yang mengevaluasi manfaat kombinasi methotrexate + sulfasalazine + hydroxychloroquine
menyimpulkan bahwa kombinasi 3 obat ini dapat bermanfaat bagi pasien yang
sebelumnya kurang berespons terhadap pengobatan methotrexate tunggal.
a. Farmakologi Methotrexate
Methotrexate atau metotreksat secara farmakologi merupakan obat
penghambat enzim dihidrofolat reductase, yang berfungsi mengubah asam
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Pada akhirnya obat ini dapat mengganggu
pertumbuhan sel ganas tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan
normal.
Farmakodinamik
methotrexate adalah menghambat enzim dihidrofolat reductase, dimana enzim ini
berfungsi untuk merubah asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat yang
digunakan sebagai pembawa gugus satu karbon sintesis nukleotida purin dan
timidilat pada proses sintesis, perbaikan, dan replikasi sel DNA. Oleh karena
itu, methotrexate memiliki efek antimetabolit yang sensitif pada sel-sel yang
aktif berproliferasi, misalnya pada sel keganasan, sel sumsum tulang, sel
janin, sel mukosa bukal dan usus, serta sel kandung kemih. Saat proliferasi sel
keganasan dalam jaringan lebih besar daripada di jaringan normal, methotrexate
dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tersebut tanpa menyebabkan kerusakan
permanen pada jaringan normal.
b. Farmakologi
Azathioprine
Farmakologi azathioprine sebagai analog purin yang menghambat pertumbuhan sel
limfosit T.
Farmakodinamik Azathioprine merupakan analog purin yang bekerja dalam level DNA. Azathioprine dimetabolisme menjadi 6-mercaptopurine (6-MP). 6-MP terbentuk dengan reduksi azathioprine oleh glutation dan sulfidril lainnya. 6-MP kemudian dimetabolisme lebih lanjut membentuk metabolit lain yakni 6-metil-MP, 6-thiouric acid, dan 6-tioguanin.
c. Farmakologi Hydroxychloroquine
Hydroxychloroquine atau hidroksiklorokuin bekerja melalui
beberapa mekanisme, di antaranya menyebabkan toksisitas pada parasit akibat
akumulasi heme bebas yang bersifat toksik, memblokade masuknya virus dengan
menghambat glikosilasi reseptor inang dan mengubah pH endosom, serta menghambat
aktivitas lisosom dan autofagi.
Farmakodinamik hidroksiklorokuin sebagai antimalaria adalah terkonsentrasi pada
vesikel parasit dan menghambat polimerisasi heme. Hal ini menyebabkan
toksisitas pada parasit akibat akumulasi heme bebas yang bersifat toksik.
Selain itu, terjadi kerusakan pada membran sel parasit akibat proses oksidatif.
d. Farmakologi
Siklosporin
Farmakologi siklosporin adalah sebagai
imunosupresan. Mekanisme kerja utamanya adalah dengan menghambat sel T dan
produksi sitokin sel T. Mekanisme sekundernya adalah melalui penghambatan
perkembangan dan aktivasi sel B dan antigen presenting cells, mengurangi
produksi antibodi, degranulasi, pelepasan histamin, sintesis leukotrien, dan
ekspresi molekul adhesif.
Farmakodinamik, Efek farmakologi siklosporin diperoleh melalui pengikatan
reseptor intraseluler siklofilin-1, membentuk kompleks siklofilin-siklosporin.
Kompleks ini akan menghambat kalsineurin yang mencegah terjadinya defosforilasi
dan aktivasi dari nuclear factor of activated T cells (NFAT). NFAT
merupakan faktor transkripsi yang meregulasi produksi dari sitokin proinflamasi
seperti interleukin (IL) 1, IL 4, interferon gamma, dan tumor necrosis
factor alpha. Selain itu, penghambatan pada NFAT juga menyebabkan defisiensi
faktor lain yang berkaitan dengan diferensiasi sel T helper, toleransi sel T,
dan perkembangan timosit.
2. Agen
Biologi
Agen biologi secara umum terbagi menjadi 2 golongan obat, yaitu
TNF-α inhibitor (Tumor Necrosis Factor Alpha Inhibitor) dan agen biologi
non-TNF. TNF-α Inhibitor (Tumor Necrosis Factor Alpha Inhibitor) Agen-agen
biologi golongan TNF-α inhibitor adalah antibodi monoklonal yang memiliki mekanisme
kerja serupa, yaitu menghambat kerja mediator inflamasi TNF-α. Beberapa agen
biologi yang termasuk TNF-α inhibitor antara lain: adalimumab, golimumab, infliximab,
certolizumab, dan etanercept. Penggunaan agen biologi golongan TNF-α inhibitor dapat
bermanfaat bagi pasien RA yang kurang berespons pada pengobatan DMARD.
Obat-obat golongan TNF-α inhibitor dapat digunakan secara tunggal, atau dalam kombinasi
dengan DMARD, misalnya TNF-α inhibitor + methotrexate. Sebuah penelitian menyimpulkan
bahwa kombinasi TNF-α inhibitor + methotrexate dapat bermanfaat bagi pasien RA
yang kurang respons terhadap pengobatan DMARD tunggal.
3. Agen
Biologi Non-TNF
Berbeda dengan agen biologi TNF-α inhibitor, agen biologi non-TNF
berasal dari kelompok mekanisme kerja yang berbeda-beda Agen biologi non-TNF
dapat digunakan secara tunggal, atau dalam kombinasi dengan methotrexate.
Efikasi dan keamanan beberapa agen biologi pernah dievaluasi pada sebuah metaanalisis
tahun 2019, termasuk beberapa agen biologi non-TNF (abatacept dan tocilizumab).
Efikasi dan efek samping dibandingkan secara relatif, Skor yang
digunakan adalah surface under the cummulative ranking curve/ SUCRA (angka SUCRA
lebih tinggi menunjukkan obat tersebut relatif lebih efektif atau relatif lebih
aman). Dari hasil penelitian ini,
kombinasi tocilizumab + methotrexate mendapatkan angka SUCRA (surface under the
cumulative ranking curve) yang relatif tinggi, dibandingkan dengan pilihan-pilihan
pengobatan lain, termasuk abatacept, menunjukkan bahwa tocilizumab lebih
efektif dari rituximab. Tetapi penelitian ini tidak mengevaluasi efektivitas
rituximab, sehingga belum diketahui perbandingan efikasi tocilizumab dengan
rituximab.
Efikasi dan keamanan tocilizumab dan rituximab pernah dievaluasi
dalam sebuah penelitian tahun 2014. Pada penelitian ini, disebutkan bahwa pada
kelompok pasien yang tidak berespons terhadap pengobatan anti-TNF, tocilizumab
menghasilkan proporsi ACR20 yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
rituximab pada 6 bulan (RR 1,79; 95%CI, 1,01 – 2,18).
4. Janus
Kinase Inhibitor
Saat ini ada 3 obat golongan Janus Kinase Inhibitor yang telah
teregistrasi untuk indikasi RA, yaitu tofacitinib (FDA & EMA), baricitinib (FDA
& EMA) dan upadacitinib (FDA). Tofacitinib dan upadacitinib bekerja dengan cara
menghambat kerja enzim Janus Kinase 1 (JAK1), sedangkan baricitinib bekerja
dengan cara menghambat kerja enzim Janus Kinase 2 (JAK2), pada jalur sinyal
JAK-STAT. Janus Kinase Inhibitor dapat digunakan secara tunggal, atau sebagai
kombinasi bersama DMARD/ methotrexate.
Efikasi dan keamanan kombinasi tofacitinib + methotrexate pernah
dievaluasi pada pasien yang tidak berespons dengan pengobatan TNF-α inhibitor
melalui metaanalisis. Hasilnya, secara umum efikasi dan keamanan kombinasi tofacitinib
+ methotrexate sebanding dengan kombinasi beberapa agen biologi (abatacept, golimumab,
rituximab, tocilizumab) + methotrexate.
Efikasi baricitinib pernah dievaluasi dalam sebuah metaanalisis
tahun 2018. Metaanalisis ini mengevaluasi respons pasien RA yang sebelumnya
gagal dengan pengobatan DMARD atau agen biologi, yang kemudian mendapatkan
pengobatan baricitinib. Hasilnya, disimpulkan bahwa pada pasien RA yang
sebelumnya gagal dengan pengobatan DMARD, baricitinib dapat bermanfaat untuk memperbaiki
skor ACR20 secara bermakna pada minggu ke-12 dan ke-24.Efikasi upadacitinib,
tofacitinib, dan adalimumab pernah dievaluasi melalui sebuah metaanalisis tahun
2019 pada pasien RA yang sebelumnya telah gagal pada pengobatan DMARD, kemudian
mendapat upadacitinib + methotrexate, atau tofacitinib + methotrexate, atau
adalimumab + methotrexate. Hasilnya, dari segi efektivitas (diukur menggunakan surface
under the cumulative ranking curve/ SUCRA), yang paling efektif adalah upadacitinib
+ methotrexate, setelah itu tofacitinib + methotrexate, lalu adalimumab + methotrexate.
Keunikan utama Janus Kinase Inhibitor (tofacitinib, baricitinib,
dan upadacitinib) dibandingkan agen biologi adalah cara penggunaan obat-obat
golongan Janus Kinase Inhibitor secara oral, sedangkan sebagian besar agen
biologi digunakan secara intravena atau subkutan.
5. KORTIKOSTEROID
Corticosteroid dapat bermanfaat memperbaiki peradangan dan gejala
RA, sayangnya penggunaan corticosteroid jangka panjang berkaitan dengan
berbagai efek samping yang merugikan. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaannya
dibatasi dalam jangka pendek.
Secara
farmakologi, dexamethasone merupakan
kortikosteroid adrenal sintetis. Dexamethasone memiliki efek glukokortikoid
yang poten, namun efek mineralokortikoid minimal.
Farmakodinamik Dexamethasone dapat melewati membran sel dan berikatan dengan
reseptor glukokortikoid di sitoplasma. Kompleks antara dexamethasone dan
reseptor glukokortikoid ini dapat berikatan dengan DNA sehingga terjadi
modifikasi transkripsi dan sintesis protein. Akibatnya, infiltrasi leukosit
terhambat, mediator inflamasi terganggu, dan edema jaringan berkurang.
Farmakologi prednison terdiri dari aspek farmakodinamik dan farmakokinetik, bekerja dengan cara menghambat migrasi sel polimorfonuklear (PMN).
Farmakodinamik
Prednisone mengurangi inflamasi dengan cara menginhibisi migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan mengurangi peningkatan permeabilitas kapiler.
Prednisone mensupresi sistem imun dengan cara mengurangi aktifitas dan volume sistem limfe.
Prednisone di dalam darah akan berubah menjadi bentuk aktif, dan di dalam inti sel akan mengikatkan diri dan mengaktivasi reseptor-reseptor sitoplasmik nuklear spesifik dengan afinitas yang tinggi, sehingga mengakibatkan ekspresi genetik yang berubah dan menginhibisi produksi sitokin pro-inflamatori.
Bentuk aktif tersebut menghasilkan inhibisi infiltrasi leukosit, mengintervensi fungsi mediator-mediator terhadap respon inflamatori, mensupresi respon imun humoral, serta mengurangi edema dan jaringan parut
Farmakokinetik
Farmakokinetik prednison mayoritas didistribusikan berikatan dengan protein.
Absorpsi
Absorpsi prednison sangat baik setelah konsumsi per oral. Konsentrasi puncak dalam plasma darah tercapai sekitar 1─3 jam pada sediaan immediate release, dan sekitar 6 jam pada sediaan delayed release. Bioavailabilitas obat per oral adalah 92%.
Distribusi
Distribusi prednison dalam ikatan dengan protein sebesar 65%─91%.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hati dengan cara hidroksilasi menjadi metabolit aktif, prednisolon.
Eliminasi
Prednison diekskresikan ke dalam urin. Waktu paruh biologis setelah konsumsi per oral adalah sekitar 3-4 jam. Pada anak-anak waktu tersebut lebih pendek, yaitu sekitar 1-2 jam.
6. NSAID
NSAID dapat bermanfaat memperbaiki gejala nyeri, akan tetapi tidak bermanfaat untuk memperbaiki perjalanan penyakit. Selain itu, penggunaan NSAID juga berkaitan dengan efek samping, oleh karena itu sedapat mungkin dibatasi hanya untuk meredakan gejala dalam jangka pendek. Contoh obat Paracetamo, ibuprofen dan Celecoxib.
Peran penting dari farmakologi ibuprofen adalah mekanisme kerja sebagai antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik melalui inhibisi produksi hormon prostaglandin.
Farmakodinamik
Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2 (PGI2), yang bertanggungjawab dalam mencetuskan rasa nyeri, inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim sintase prostaglandin.
PERTANYAAN
1. Bagaimana
mekanisme absorbsi obat kombinasi tocilizumab
+ methotrexate sampai memberikan efek ketubuh untuk pengobatan reumatoid
artritis?
2. Bagaimana
proses distribusi dari golongan obat reumatoid arttritis seperti adalimumab, infliximab
dan etanercept, serta dari ketiga obat tersebut mana yang lebih cepat
memberikan efek ketubuh?
3. Bagaimana
mekanisme obat methotrexate
dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tanpa menyebabkan kerusakan permanen
pada jaringan normal?
DAFTAR
PUSTAKA
Gleadle, J. 2005. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisisk.
Erlangga, Jakarta.
Leveno, K. J. 2009. Obstetri Williams : Panduan Ringkas.
EGC, Jakarta.
Nitiyoso, N. 2020. Pilihan Pengobatan Artritis Rematoid. Continung
Professional