Rabu, 09 Desember 2020

Reumatoid Artritis

 REUMATOID ARTRITIS

Reumatoid artritis merupakan penyakit multisistem kronik yang ditandai oleh beragam manifestasi klinis, dengan awitan penyakit umumnya pada usia antara 35 dan 50 tahun. Gambaran utama adalah sinovitis inflamatorik yang biasanya mengenai perifer. Penyakit ini memeliki kecendrungan merusak tulang rawan, menyebabkan erosis tulang, dan menimbulkan kerusakan sendi. Tangan, penggelangan tangan dan kaki sering tekena. Timbul nyeri yang diperburuk oleh gerakan, disertai pembengkakan dan nyeri tekain. Selain gejala sinovitis, sebagian besar pasien memperlihatkan rasa lelah, anoreksia, lemah otot, penurunan berat badan dan gejala tulang otot yang sama. Kelainan diluar sendi adalah nodus rematoid, vaskulitis dan gejala pleuropulmoner. Untung nya biasanya ginjal tidak tekena.



Artritis rematoid ( Rheumatoid arthritis, RA) adalah penyakit autoimun dengan gejala utama nyeri dan peredangan sendi. Etiologi penyakit ini belum sepenuhnya diketahui. Dimana nyeri sendi pada RA secara bermakna dapat menurunkan kualitas hidup, serta dapat mengganggu aktivitas perkerjaan dan sosial. Pada pasien RA juga didapatkan peningkatan angka mortalitas yang bermakna. Prevalensi RA bervariasi antar nengara dimerika serikat diperkirakan sekitar 0,5%, diinggris sekitar 0,67% dan dijepang sekitar 0,6%. Survei prevalensi di indonesia mendapatkan angka sekitar 30%.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis RA belum sepenuhnya dipahami. Rangsangan eksternal (misalnya merokok, infeksi, atau trauma) dapat memicu reaksi autoimun, yang mengarah ke hipertrofi sinovial dan peradangan sendi kronik (intraartikular). Selain itu, rangsangan ini juga berpotensi untuk bermanifestasi ekstraartikular, diduga terutama pada individu. yang memiliki faktor genetik. Faktor genetik dan kelainan sistem kekebalan berkontribusi terhadap penyebaran penyakit.

Hiperplasia sinovial dan aktivasi endotel adalah proses patologis awal yang berkembang menjadi peradangan kronik dan mengakibatkan kerusakan tulang dan

tulang rawan. Sel-sel yang terlibat pada peradangan seluler pada patofisiologi RA antara lain: sel limfosit T CD4, sel fagosit mononuklear, sel fibroblas, sel osteoklas, dan sel neutrofil. Sedangkan sel yang terlibat pada peradangan humoral adalah sel limfosit B yang menghasilkan autoantibodi (faktor reumatoid).

Pada RA, diketahui terjadi peningkatan berbagai sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi sebagai berikut: Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8(IL-8), Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß), Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet Derived Growth Factor (PDGF). Pada akhirnya, proses peradangan dan proliferasi sinovium (pannus) yang berlebihan menyebabkan kerusakan berbagai jaringan, termasuk tulang rawan, tulang, tendon, ligamen, dan pembuluh darah. Meskipun struktur artikular adalah organ utama yang terlibat, jaringan lain juga terpengaruh.

 

GEJALA DAN TANDA

Gejala utama RA adalah nyeri dan peradangan sendi poliartikular, biasanya mengenai jari-jari tangan dan kaki. Gejala nyeri dan peradangan sendi bisa hilang timbul, umumnya bersifat kronik dan progresif. Progresivitas gejala sendi tidak hanya pada nyeri, melainkan juga kerusakan, deformitas, dan fungsi sendi yang makin buruk. Selain gejala sendi, juga dapat timbul gejala ekstraartikuler antara lain mengenai kulit, jantung, paru, dan mata. Selain kerusakan artikular, mungkin disertai gejala konstitusional (misalnya kelelahan, malaise, kekakuan di pagi hari, penurunan berat badan, dan demam ringan). Pasien RA dapat melaporkan kesulitan melakukan aktivitas hidup sehari-hari, seperti berpakaian, berdiri, berjalan, kebersihan pribadi, atau penggunaan tangan.

Pada pemeriksaan fisik, pada sendi-sendi yang terkena akan muncul tanda-tanda berikut: bengkak, nyeri tekan, hangat, dan penurunan range of motion.           Sendi-sendi yang sering terkena antara lain: metacarpophalangeal (MCP), pergelangan, proximal interphalangeal (PIP), lutut, metatarsophalangeal (MTP), sendi, pergelangan kaki, vertebra servikal, panggul, siku, dan temporomandibular.

PILIHAN PENGOBATAN

Untuk mencapai sasaran pengobatan, ada beberapa pilihan pengobatan, antara lain: DMARD, Agen Biologik, Janus Kinase Inhibitor, Corticosteroid, dan NSAID.

        1. DMARD

DMARD (Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs) Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) adalah kelompok obat yang memiliki potensi mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Yang termasuk dalam obat-obat DMARD adalah methotrexate, leflunomide, sulfasalazine, hydroxychloroquine, cyclosporine, azathioprine. Obat-obat DMARD memiliki mula kerja panjang dan baru akan memberikan. efek setelah 1-6 bulan pengobatan, serta biasanya memiliki potensi efek samping relatif berat, oleh karena itu membutuhkan evaluasi dan pemantauan.

 DMARD dapat digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi. Untuk pengobatan awal, apabila digunakan secara tunggal, yang memiliki efikasi lebih baik adalah methotrexate atau leflunomide (efikasi methotrexate sebanding dengan leflunomide). Apabila pengobatan awal methotrexate tidak memberikan respons perbaikan yang diharapkan setelah titrasi dosis, DMARD kombinasi dapat memberikan efikasi lebih baik dibandingkan DMARD tunggal. Kombinasi methotrexate + leflunomide dapat bermanfaat bagi pasien RA yang sebelumnya kurang berespons terhadap pengobatan DMARD tunggal. Penelitian lain yang mengevaluasi manfaat kombinasi methotrexate + sulfasalazine + hydroxychloroquine menyimpulkan bahwa kombinasi 3 obat ini dapat bermanfaat bagi pasien yang sebelumnya kurang berespons terhadap pengobatan methotrexate tunggal.

                a. Farmakologi Methotrexate


Methotrexate atau metotreksat secara farmakologi merupakan obat penghambat enzim dihidrofolat reductase, yang berfungsi mengubah asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Pada akhirnya obat ini dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan normal.

Farmakodinamik methotrexate adalah menghambat enzim dihidrofolat reductase, dimana enzim ini berfungsi untuk merubah asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat yang digunakan sebagai pembawa gugus satu karbon sintesis nukleotida purin dan timidilat pada proses sintesis, perbaikan, dan replikasi sel DNA. Oleh karena itu, methotrexate memiliki efek antimetabolit yang sensitif pada sel-sel yang aktif berproliferasi, misalnya pada sel keganasan, sel sumsum tulang, sel janin, sel mukosa bukal dan usus, serta sel kandung kemih. Saat proliferasi sel keganasan dalam jaringan lebih besar daripada di jaringan normal, methotrexate dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tersebut tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan normal.

                b.   Farmakologi Azathioprine



Farmakologi azathioprine sebagai analog purin yang menghambat pertumbuhan sel limfosit T.

Farmakodinamik Azathioprine merupakan analog purin yang bekerja dalam level DNA. Azathioprine dimetabolisme menjadi 6-mercaptopurine (6-MP). 6-MP terbentuk dengan reduksi azathioprine oleh glutation dan sulfidril lainnya. 6-MP kemudian dimetabolisme lebih lanjut membentuk metabolit lain yakni 6-metil-MP, 6-thiouric acid, dan 6-tioguanin.

c.    Farmakologi Hydroxychloroquine



Hydroxychloroquine atau hidroksiklorokuin  bekerja melalui beberapa mekanisme, di antaranya menyebabkan toksisitas pada parasit akibat akumulasi heme bebas yang bersifat toksik, memblokade masuknya virus dengan menghambat glikosilasi reseptor inang dan mengubah pH endosom, serta menghambat aktivitas lisosom dan autofagi.

Farmakodinamik hidroksiklorokuin sebagai antimalaria adalah terkonsentrasi pada vesikel parasit dan menghambat polimerisasi heme. Hal ini menyebabkan toksisitas pada parasit akibat akumulasi heme bebas yang bersifat toksik. Selain itu, terjadi kerusakan pada membran sel parasit akibat proses oksidatif.

                d.  Farmakologi Siklosporin


           Farmakologi siklosporin adalah sebagai imunosupresan. Mekanisme kerja utamanya adalah dengan menghambat sel T dan produksi sitokin sel T. Mekanisme sekundernya adalah melalui penghambatan perkembangan dan aktivasi sel B dan antigen presenting cells, mengurangi produksi antibodi, degranulasi, pelepasan histamin, sintesis leukotrien, dan ekspresi molekul adhesif.

Farmakodinamik, Efek farmakologi siklosporin diperoleh melalui pengikatan reseptor intraseluler siklofilin-1, membentuk kompleks siklofilin-siklosporin. Kompleks ini akan menghambat kalsineurin yang mencegah terjadinya defosforilasi dan aktivasi dari nuclear factor of activated T cells (NFAT). NFAT merupakan faktor transkripsi yang meregulasi produksi dari sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) 1, IL 4, interferon gamma, dan tumor necrosis factor alpha. Selain itu, penghambatan pada NFAT juga menyebabkan defisiensi faktor lain yang berkaitan dengan diferensiasi sel T helper, toleransi sel T, dan perkembangan timosit.

 

        2.  Agen Biologi

Agen biologi secara umum terbagi menjadi 2 golongan obat, yaitu TNF-α inhibitor (Tumor Necrosis Factor Alpha Inhibitor) dan agen biologi non-TNF. TNF-α Inhibitor (Tumor Necrosis Factor Alpha Inhibitor) Agen-agen biologi golongan TNF-α inhibitor adalah antibodi monoklonal yang memiliki mekanisme kerja serupa, yaitu menghambat kerja mediator inflamasi TNF-α. Beberapa agen biologi yang termasuk TNF-α inhibitor antara lain: adalimumab, golimumab, infliximab, certolizumab, dan etanercept. Penggunaan agen biologi golongan TNF-α inhibitor dapat bermanfaat bagi pasien RA yang kurang berespons pada pengobatan DMARD. Obat-obat golongan TNF-α inhibitor dapat digunakan secara tunggal, atau dalam kombinasi dengan DMARD, misalnya TNF-α inhibitor + methotrexate. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kombinasi TNF-α inhibitor + methotrexate dapat bermanfaat bagi pasien RA yang kurang respons terhadap pengobatan DMARD tunggal.

 

        3.  Agen Biologi Non-TNF

Berbeda dengan agen biologi TNF-α inhibitor, agen biologi non-TNF berasal dari kelompok mekanisme kerja yang berbeda-beda Agen biologi non-TNF dapat digunakan secara tunggal, atau dalam kombinasi dengan methotrexate. Efikasi dan keamanan beberapa agen biologi pernah dievaluasi pada sebuah metaanalisis tahun 2019, termasuk beberapa agen biologi non-TNF (abatacept dan tocilizumab).

Efikasi dan efek samping dibandingkan secara relatif, Skor yang digunakan adalah surface under the cummulative ranking curve/ SUCRA (angka SUCRA lebih tinggi menunjukkan obat tersebut relatif lebih efektif atau relatif lebih aman).  Dari hasil penelitian ini, kombinasi tocilizumab + methotrexate mendapatkan angka SUCRA (surface under the cumulative ranking curve) yang relatif tinggi, dibandingkan dengan pilihan-pilihan pengobatan lain, termasuk abatacept, menunjukkan bahwa tocilizumab lebih efektif dari rituximab. Tetapi penelitian ini tidak mengevaluasi efektivitas rituximab, sehingga belum diketahui perbandingan efikasi tocilizumab dengan rituximab.

Efikasi dan keamanan tocilizumab dan rituximab pernah dievaluasi dalam sebuah penelitian tahun 2014. Pada penelitian ini, disebutkan bahwa pada kelompok pasien yang tidak berespons terhadap pengobatan anti-TNF, tocilizumab menghasilkan proporsi ACR20 yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan rituximab pada 6 bulan (RR 1,79; 95%CI, 1,01 – 2,18).

       4. Janus Kinase Inhibitor

Saat ini ada 3 obat golongan Janus Kinase Inhibitor yang telah teregistrasi untuk indikasi RA, yaitu tofacitinib (FDA & EMA), baricitinib (FDA & EMA) dan upadacitinib (FDA). Tofacitinib dan upadacitinib bekerja dengan cara menghambat kerja enzim Janus Kinase 1 (JAK1), sedangkan baricitinib bekerja dengan cara menghambat kerja enzim Janus Kinase 2 (JAK2), pada jalur sinyal JAK-STAT. Janus Kinase Inhibitor dapat digunakan secara tunggal, atau sebagai kombinasi bersama DMARD/ methotrexate. 

Efikasi dan keamanan kombinasi tofacitinib + methotrexate pernah dievaluasi pada pasien yang tidak berespons dengan pengobatan TNF-α inhibitor melalui metaanalisis. Hasilnya, secara umum efikasi dan keamanan kombinasi tofacitinib + methotrexate sebanding dengan kombinasi beberapa agen biologi (abatacept, golimumab, rituximab, tocilizumab) + methotrexate.

Efikasi baricitinib pernah dievaluasi dalam sebuah metaanalisis tahun 2018. Metaanalisis ini mengevaluasi respons pasien RA yang sebelumnya gagal dengan pengobatan DMARD atau agen biologi, yang kemudian mendapatkan pengobatan baricitinib. Hasilnya, disimpulkan bahwa pada pasien RA yang sebelumnya gagal dengan pengobatan DMARD, baricitinib dapat bermanfaat untuk memperbaiki skor ACR20 secara bermakna pada minggu ke-12 dan ke-24.Efikasi upadacitinib, tofacitinib, dan adalimumab pernah dievaluasi melalui sebuah metaanalisis tahun 2019 pada pasien RA yang sebelumnya telah gagal pada pengobatan DMARD, kemudian mendapat upadacitinib + methotrexate, atau tofacitinib + methotrexate, atau adalimumab + methotrexate. Hasilnya, dari segi efektivitas (diukur menggunakan surface under the cumulative ranking curve/ SUCRA), yang paling efektif adalah upadacitinib + methotrexate, setelah itu tofacitinib + methotrexate, lalu adalimumab + methotrexate.

Keunikan utama Janus Kinase Inhibitor (tofacitinib, baricitinib, dan upadacitinib) dibandingkan agen biologi adalah cara penggunaan obat-obat golongan Janus Kinase Inhibitor secara oral, sedangkan sebagian besar agen biologi digunakan secara intravena atau subkutan.

        5.  KORTIKOSTEROID

Corticosteroid dapat bermanfaat memperbaiki peradangan dan gejala RA, sayangnya penggunaan corticosteroid jangka panjang berkaitan dengan berbagai efek samping yang merugikan. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaannya dibatasi dalam jangka pendek.

Secara farmakologi, dexamethasone merupakan kortikosteroid adrenal sintetis. Dexamethasone memiliki efek glukokortikoid yang poten, namun efek mineralokortikoid minimal.

Farmakodinamik Dexamethasone dapat melewati membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitoplasma. Kompleks antara dexamethasone dan reseptor glukokortikoid ini dapat berikatan dengan DNA sehingga terjadi modifikasi transkripsi dan sintesis protein. Akibatnya, infiltrasi leukosit terhambat, mediator inflamasi terganggu, dan edema jaringan berkurang.

   Farmakologi prednison terdiri dari aspek farmakodinamik dan farmakokinetik, bekerja dengan cara menghambat migrasi sel polimorfonuklear (PMN).

Farmakodinamik

Prednisone mengurangi inflamasi dengan cara menginhibisi migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan mengurangi peningkatan permeabilitas kapiler.

Prednisone mensupresi sistem imun dengan cara mengurangi aktifitas dan volume sistem limfe.

Prednisone di dalam darah akan berubah menjadi bentuk aktif, dan di dalam inti sel akan mengikatkan diri dan mengaktivasi reseptor-reseptor sitoplasmik nuklear spesifik dengan afinitas yang tinggi, sehingga mengakibatkan ekspresi genetik yang berubah dan menginhibisi produksi sitokin pro-inflamatori.

Bentuk aktif tersebut menghasilkan inhibisi infiltrasi leukosit, mengintervensi fungsi mediator-mediator terhadap respon inflamatori, mensupresi respon imun humoral, serta mengurangi edema dan jaringan parut

Farmakokinetik

Farmakokinetik prednison mayoritas didistribusikan berikatan dengan protein.

Absorpsi

Absorpsi prednison sangat baik setelah konsumsi per oral. Konsentrasi puncak dalam plasma darah tercapai sekitar 1─3 jam pada sediaan immediate release, dan sekitar 6 jam pada sediaan delayed release. Bioavailabilitas obat per oral adalah 92%.

Distribusi

Distribusi prednison dalam ikatan dengan protein sebesar 65%─91%.

Metabolisme

Metabolisme terjadi di hati dengan cara hidroksilasi menjadi metabolit aktif, prednisolon.

Eliminasi

Prednison diekskresikan ke dalam urin. Waktu paruh biologis setelah konsumsi per oral adalah sekitar 3-4 jam. Pada anak-anak waktu tersebut lebih pendek, yaitu sekitar 1-2 jam. 

        6. NSAID

NSAID dapat bermanfaat memperbaiki gejala nyeri, akan tetapi tidak bermanfaat untuk memperbaiki perjalanan penyakit. Selain itu, penggunaan NSAID juga berkaitan dengan efek samping, oleh karena itu sedapat mungkin dibatasi hanya untuk meredakan gejala dalam jangka pendek. Contoh obat Paracetamo, ibuprofen dan  Celecoxib.

  Peran penting dari farmakologi ibuprofen adalah mekanisme kerja sebagai antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik melalui inhibisi produksi hormon prostaglandin.

Farmakodinamik

Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2 (PGI2), yang bertanggungjawab dalam mencetuskan rasa nyeri, inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim sintase prostaglandin.


PERTANYAAN

    1. Bagaimana mekanisme absorbsi obat  kombinasi tocilizumab + methotrexate sampai memberikan efek ketubuh untuk pengobatan reumatoid artritis?

    2. Bagaimana proses distribusi dari golongan obat reumatoid arttritis seperti adalimumab, infliximab dan etanercept, serta dari ketiga obat tersebut mana yang lebih cepat memberikan efek ketubuh?

    3. Bagaimana mekanisme obat  methotrexate dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan normal?

 

DAFTAR PUSTAKA

Gleadle, J. 2005. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisisk.

Erlangga,  Jakarta.

Leveno, K. J. 2009. Obstetri Williams : Panduan Ringkas. EGC, Jakarta.

Nitiyoso, N. 2020. Pilihan Pengobatan Artritis Rematoid. Continung Professional

            Development. 47(4): 251-255. 

5 komentar:

  1. Terimakasih Pela, artikel nya sangat padat dan jelas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, terimakasih kembali sudah berkunjung. Semoga ilmunya bermanfaat ya.

      Hapus
  2. Terimakasih untuk pemaparannya, ditunggu artikel selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kembali,semoga ilmunya dapat menambah wawasan ya.

      Hapus
  3. Terimakasih banyak atas ilmunya, artikelnya sangat bermanfaat 🙏🏻

    BalasHapus

Reumatoid Artritis

  REUMATOID ARTRITIS Reumatoid artritis merupakan penyakit multisistem kronik yang ditandai oleh beragam manifestasi klinis, dengan awitan...